2. Karate
Di lain tempat, disalah satu sekolah kota penghasil tembakau
tersebut sedang diadakan seleksi Karate untuk diberangkatkan ke kejuaraan
KAPOLDA CUP di Malang. Dari salah satu peserta seleksi Karate tersebut ada yang
bernama Yayant. Dia seorang pemuda berpenampilan biasa malah terkesan cuek
namun berprinsip kuat. Mungkin hanya dialah satu-satunya peserta yang bersabuk
putih (dalam tingkatan Karate sabuk putih adalah sabuk pemula atau sabuk paling
rendah) namun dia berkeyakinan kalau mampu mengikuti seleksi tersebut mengikuti
kelas bebas “kelas yang tidak berdasarkan umur ataupun berat badan/sabuk. ”
Yayant mulai mengikuti/latihan Karate
ketika berusia 14 th sampai sekarang ketika dia sudah berusia 20 th masih saja
bersabuk putih. Bukan karena Yayant malas,tidak mampu secara ekonomi atau tidak
lulus ujian sabuk tetapi lebih disebabkan mental Yayant yang tidak ingin
mengejar tingkatan/sabuk saja. Yayant lebih mengejar “ilmu” dari Karate
tersebut, hampir tiap hari dia latihan secara rutin dirumahnya (dan itu
dilakukan secara continue terus menerus selama bertahun-tahun) mempelajari dan
mendalami apa itu Karate. Menjadikan Karate sebagai pagar dirinya ketika
diserang oleh musuh, mengumpamakan Karate sebagai fitness untuk mengolah
raganya menjadi sehat dan mencoba meraih prestasi melalui Karate. Di luar faktor
tadi “kecintaannya” pada Karate yang membuat dirinya enjoy.
Di pelajarinya Karate dengan enjoy,
bahkan meski dia bersabuk putih terkadang Sempai (kakak seperguruan/senior)
mengijinkannya untuk ikut latihan sabuk biru/bahkan sabuk coklat disebabkan
gerakan-gerakan Karatenya yang mantap bertenaga namun luwes. Melihat kemampuan
Yayant Sempai pun mengujinya melalui Kumite (pertarungan) dengan yang bersabuk
biru ataupun coklat dan hasilnyapun tidak mengecewakan.
Ketika Yayant melakukan Kumite tiada
kata takut/gentar baginya, bahkan terkesan dia melakukannya dengan santai namun
hasilnya dia sering menahan imbang lawan tandingnya dan terkadang menang.
Terkadang ketika dia melakukan Kumite, dia mengikuti kemampuan lawan
tandingnya. Karena Yayant sering melihat dan merasakan kemampuan seorang
Karateka yang bersabuk coklat tapi kemampuan ataupun gerakan-gerakan Karatenya
tidak sesuai dengan sabuk yang dipakai. Hal inilah salah satu faktor yang
membuat Yayant malas dan tidak mau mengikuti ujian kenaikan sabuk. Bukan
berarti Yayant merasa paling jago dalam Karate namun dia cuma menyayangkan
masih banyak Karateka yang kemampuannya tidak sesuai dengan sabuk yang
disandangnya.
Yayant juga merasa prinsip yang dilaluinya
kurang tepat dan tidak perlu dicontoh oleh orang lain (ia mencari “ilmu” bukan
mencari “sabuk”). Dalam salah satu puisi yg ditulisnya di buku:
Karate..
Begitu bersemangat ku jalani
latihanmu..
Begitu banyak manfaat yang ku dapatkan
Tidak perlu latihan beban ataupun
wiridan
Karena Karate..
Adalah melatih segala “senjata” di
tubuh kita
Bisa pakai kepalan tangan, jari, siku,
lutut, kepala dan lainnya..
Hanya sayang..
Tidak banyak yang tahu begitu “dalam”
arti Karate tersebut
Dan seperti yang telah diperkirakan
oleh Sempainya, Yayant pun bisa ikut team pilihan seleksi Karate setelah
mengalahkan lawan tandingnya yang sudah bersabuk Hitam (yang katanya sering
mewakili daerah untuk kejuaraan Karate tingkat propinsi). Namun kemenangan
Yayant tersebut baru bisa diraih setelah dalam “Kumite” lawan tandingnya sempat
menjambak rambut semi gondrongnya, mungkin dikarenakan si lawan tanding merasa
malu atau emosi kalah oleh penyandang sabuk putih. Sebenarnya lawan tandingnya
tahu kalau Yayant meski secara kasat mata dia bersabuk putih tapi mempunyai
kemampuan setara/bahkan mendekati sabuk hitam. Dan lawan tanding Yayant lupa
meski Yayant bersabuk putih terkadang dalam sehari dia bisa latihan di 3 tempat
latihan yang berbeda dikarenakan kecintaannya pada Karate, kehausan akan ilmu
dan penyaluran energi berlebih yang dipunyai Yayant.
Hari yang melelahkan telah dilalui
Yayant, sekarang dia lagi merenung gimana caranya mendapatkan biaya transport
untuk pertandingan di Surabaya.
Yayant tahu apabila dia berangkat harus dari uang sendiri karena Bapaknya tidak
akan memberi uang saku kecuali uantuk biaya pendidikan, sedangkan ia sekarang
hanyalah seorang pengangguran yang sekali-kali jaga toko “peracangan” keluarga.
Perjalanan
Yayant ke Malang akan mempertemukannya dengan
sahabat sejati yang akan menemani-mengarungi hidup kerasnya kota
Surabaya dengan
pernak-pernik malamnya.
*****
Tidak ada komentar:
Posting Komentar