Rabu, 11 Juli 2012

Dua Hati-2


                                                                          2. Karate



         Di lain tempat, disalah satu sekolah kota penghasil tembakau tersebut sedang diadakan seleksi Karate untuk diberangkatkan ke kejuaraan KAPOLDA CUP di Malang. Dari salah satu peserta seleksi Karate tersebut ada yang bernama Yayant. Dia seorang pemuda berpenampilan biasa malah terkesan cuek namun berprinsip kuat. Mungkin hanya dialah satu-satunya peserta yang bersabuk putih (dalam tingkatan Karate sabuk putih adalah sabuk pemula atau sabuk paling rendah) namun dia berkeyakinan kalau mampu mengikuti seleksi tersebut mengikuti kelas bebas “kelas yang tidak berdasarkan umur ataupun berat badan/sabuk. ”
         Yayant mulai mengikuti/latihan Karate ketika berusia 14 th sampai sekarang ketika dia sudah berusia 20 th masih saja bersabuk putih. Bukan karena Yayant malas,tidak mampu secara ekonomi atau tidak lulus ujian sabuk tetapi lebih disebabkan mental Yayant yang tidak ingin mengejar tingkatan/sabuk saja. Yayant lebih mengejar “ilmu” dari Karate tersebut, hampir tiap hari dia latihan secara rutin dirumahnya (dan itu dilakukan secara continue terus menerus selama bertahun-tahun) mempelajari dan mendalami apa itu Karate. Menjadikan Karate sebagai pagar dirinya ketika diserang oleh musuh, mengumpamakan Karate sebagai fitness untuk mengolah raganya menjadi sehat dan mencoba meraih prestasi melalui Karate. Di luar faktor tadi “kecintaannya” pada Karate yang membuat dirinya enjoy.
         Di pelajarinya Karate dengan enjoy, bahkan meski dia bersabuk putih terkadang Sempai (kakak seperguruan/senior) mengijinkannya untuk ikut latihan sabuk biru/bahkan sabuk coklat disebabkan gerakan-gerakan Karatenya yang mantap bertenaga namun luwes. Melihat kemampuan Yayant Sempai pun mengujinya melalui Kumite (pertarungan) dengan yang bersabuk biru ataupun coklat dan hasilnyapun tidak mengecewakan.
         Ketika Yayant melakukan Kumite tiada kata takut/gentar baginya, bahkan terkesan dia melakukannya dengan santai namun hasilnya dia sering menahan imbang lawan tandingnya dan terkadang menang. Terkadang ketika dia melakukan Kumite, dia mengikuti kemampuan lawan tandingnya. Karena Yayant sering melihat dan merasakan kemampuan seorang Karateka yang bersabuk coklat tapi kemampuan ataupun gerakan-gerakan Karatenya tidak sesuai dengan sabuk yang dipakai. Hal inilah salah satu faktor yang membuat Yayant malas dan tidak mau mengikuti ujian kenaikan sabuk. Bukan berarti Yayant merasa paling jago dalam Karate namun dia cuma menyayangkan masih banyak Karateka yang kemampuannya tidak sesuai dengan sabuk yang disandangnya.

          Yayant juga merasa prinsip yang dilaluinya kurang tepat dan tidak perlu dicontoh oleh orang lain (ia mencari “ilmu” bukan mencari “sabuk”). Dalam salah satu puisi yg ditulisnya di buku:
         Karate..
         Begitu bersemangat ku jalani latihanmu..
         Begitu banyak manfaat yang ku dapatkan
         Tidak perlu latihan beban ataupun wiridan
         Karena Karate..
         Adalah melatih segala “senjata” di tubuh kita
         Bisa pakai kepalan tangan, jari, siku, lutut, kepala dan lainnya..
         Hanya sayang..
         Tidak banyak yang tahu begitu “dalam” arti Karate tersebut

         Dan seperti yang telah diperkirakan oleh Sempainya, Yayant pun bisa ikut team pilihan seleksi Karate setelah mengalahkan lawan tandingnya yang sudah bersabuk Hitam (yang katanya sering mewakili daerah untuk kejuaraan Karate tingkat propinsi). Namun kemenangan Yayant tersebut baru bisa diraih setelah dalam “Kumite” lawan tandingnya sempat menjambak rambut semi gondrongnya, mungkin dikarenakan si lawan tanding merasa malu atau emosi kalah oleh penyandang sabuk putih. Sebenarnya lawan tandingnya tahu kalau Yayant meski secara kasat mata dia bersabuk putih tapi mempunyai kemampuan setara/bahkan mendekati sabuk hitam. Dan lawan tanding Yayant lupa meski Yayant bersabuk putih terkadang dalam sehari dia bisa latihan di 3 tempat latihan yang berbeda dikarenakan kecintaannya pada Karate, kehausan akan ilmu dan penyaluran energi berlebih yang dipunyai Yayant.
         Hari yang melelahkan telah dilalui Yayant, sekarang dia lagi merenung gimana caranya mendapatkan biaya transport untuk pertandingan di Surabaya. Yayant tahu apabila dia berangkat harus dari uang sendiri karena Bapaknya tidak akan memberi uang saku kecuali uantuk biaya pendidikan, sedangkan ia sekarang hanyalah seorang pengangguran yang sekali-kali jaga toko “peracangan” keluarga.
Perjalanan Yayant ke Malang akan mempertemukannya dengan sahabat sejati yang akan menemani-mengarungi hidup kerasnya kota Surabaya dengan pernak-pernik malamnya.
                                                    
                                                            *****

Tidak ada komentar:

Posting Komentar